Jumat, 08 April 2016

perjanjian internasional

1.2.1.     Pengertian Perjanjian Internasional
Ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk menyebut perjanjian internasional yaitu traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute, charter), deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi dan covenant (Mochtar Kusumaatmaja, 1989).
Perjanjian internasional adalah kesepakatan antara dua atau lebih subyek hukum internasional (misalnya negara, lembaga internasional)  yang menurut hukum internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan.
1.2.2.     Macam-Macam Perjanjian Internasional (PI)Ada beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian internasional, antara lain berdasarkan: (i) jumlah pesertanya, (ii) strukturnya, (iii) obyeknya, (iv) cara berlakunya, (v) instrumen pembentuk perjanjiannya.
(i). Menurut jumlah pesertanya, perjanjian internasional dapat berupa perjanjian bilateral (bila melibatkan dua negara saja) misalnya perjanjian RI dengan RRC mengenai Dwikenegaraan pada tahun 1954; atau multilateral (bila melibatkan lebih dari dua negara) misalnya Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.
(ii). Menurut strukturnya, perjanjian internasional ada yang bersifat law making artinya mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua negara di dunia, misalnya Konvensi Hukum Laut tahun 1958, Konvensi Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, ada pula yang bersifat contract, yaitu hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian saja. Misalnya: Perjanjian Ekstradisi 1974 antara Indonesia dan Malaysia.
(iii). Dari segi obyeknya, perjanjian internasional dapat dibagi menjadi perjanjian yang berisi soal-soal politik dan perjanjian yang berisi masalah-masalah ekonomi, budaya, dan lain-lain.
(iv). Dari segi cara berlakunya, ada yang bersifat self executing (berlaku dengan sendirinya), ada pula yang bersifat non self-executing. Disebut self executing, bila sebuah perjanjian internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara tertentu. Bila harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku, maka perjanjian internasional itu disebut non self-executing.
(v). Berdasarkan instrumennya, maka perjanjian internasional (PI) ada yang berbentuk tertulis, ada pula yang lisan. PI tertulis dituangkan dalam bentuk formal secara tertulis, antara lain berupa treaty, convention, agreement, arrangement, charter, covenant, statute, constitution, protocol, declaration, dan lain-lain. Sedangkan PI lisan diekspresikan melalui instrumen-instrumen tidak tertulis. Ada berbagai macam PI tidak tertulis, misalnya:
  1. Perjanjian Internasional Lisan (international oral agreement)
PI lisan disebut juga gentlement agreement, biasanya disepakati secara bilateral, untuk mengatur hal-hal yang tidak terlalu rumit, bersifat tekhnis namun merupakan materi umum. Misalnya: The London Agreement 1946 yang mengatur distribusi keanggotaan Dewan Keamanan (DK) PBB.
  1. Deklarasi Sepihak (Unilateral Declaration)
Deklarasi Unilateral adalah pernyataan suatu negara yang disampaikan wakil negara tersebut yang berkompeten (presiden, perdana menteri, menteri luar negeri, menteri-menteri lain) dan ditujukan kepada negara lain. Deklarasi itu dapat menjadi perjanjian apabila memang mengandung maksud untuk berjanji sehingga menimbulkan kewajiban pada negara yang berjanji dan hak yang dapat dituntut oleh negara yang menjadi tujuan deklarasi tsb.
Misalnya: pernyataan kemerdekaan oleh rakyat Palestina.
  1. Persetujuan Diam-Diam (Tacit Agreement atau Tacit Consent) atau Persetujuan Tersimpul (Implied Agreement)
Perjanjian ini dibuat secara tidak tegas artinya adanya PI tersebut dapat diketahui hanya melalui penyimpulan suatu tingkah laku, baik aktif maupun pasif dari suatu negara atau subyek hukum internasional lainnya.
1.1.3.     Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional (PI)
  1. Menurut para ahli:
Menurut Mochtar Kusumaatmaja (1982), dilihat dari praktik yang dilakukan beberapa negara, ada dua cara pembentukan perjanjian internasional (PI), yaitu:
  1. PI yang dibentuk melalui tiga tahap, yaitu: perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Ini dilakukan untuk hal-hal yang sangat penting sehingga perlu persetujuan DPR.
  2. Ada juga yang hanya melalui dua tahap yaitu perundingan dan penandatanganan. Ini dibuat untuk mengatur hal-hal yang mendesak namun tidak begitu penting, misalnya perjanjian perdagangan jangka pendek.
Hal yang hampir sama disampaikan oleh Pierre Fraymond (1984) yaitu ada dua prosedur pembuatan PI:
  1. Prosedur Normal atau Klasik, yaitu yang menghendaki persetujuan parlemen, melalui tahap-tahap perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), persetujuan parlemen (the approval of parliament) dan ratifikasi (ratification).
  2. Prosedur yang disederhanakan atau simplified procedure, yang tidak mensyaratkan persetujuan parlemen ataupun ratifikasi karena memerlukan penyelesaian yang cepat.
  1. Menurut hukum positif Indonesia:
Dalam Pasal 11 UUD 1945 dikatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Hal ini lebih lanjut diatur dalam UURI No. 24 Tahun 2000. Dalam Pasal 4 dikatakan bahwa pembuatan PI antara pemerintah RI dengan negara lain dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan itikad baik, berpedoman kepada kepentingan nasional dan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan di samping memperhatikan kepentingan nasional juga hukum internasional yang berlaku.
Menurut UU tersebut, pembuatan PI dilakukan melalui tahap-tahap: penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan, kemudian diikuti pengesahan apabila memang disyaratkan oleh PI tersebut. Aksesi adalah istilah yang digunakan apabila negara yang akan mengesahkan suatu PI tidak turut menandatangani naskah perjanjian. Pengesahan PI oleh Pemerintah RI dapat dilakukan melalui UU yaitu apabila isinya sangat penting ataupun melalui Keputusan Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar